KARAPAN SAPI : BUDAYA DAN PRIDE MASYARAKAT MADURA

Sudah banyak orang mengenal Karapan Sapi, budaya suku Madura yang menjadi salah satu budaya yang terkenal di Jawa Timur. Karapan sapi merupakan perlombaan pacuan sapi yang berlangsung di Pulau Madura, selalu meriah di setiap pagelarannya. Selain seru melihat perlombaan pacuan sapi, agenda tersebut hanya berlangsung di waktu tertentu.
Menurut laman resmi Kemdikbud, sejarah Karapan Sapi berasal karena kondisi tanah di Madura yang kurang subur untuk pertanian. Oleh sebab itu, masyarakat madura memiliki beberapa alternatif mata pencaharian lainnya. Seperti beternak sapi yang dimanfaatkan untuk membajak sawah atau ladang.
Kemudian muncul seorang ulama dari Sumenep bernama Syeh Ahmad Baidawi yang juga dikenal sebagai Pangeran Katandur, cucu Sunan Kudus yang wafat dan dikuburkan di Sumenep, memperkenalkan metode bercocok tanam dengan menggunakan alat berupa sepasang bambu yang disebut nanggala. Alat tersebut ditarik oleh dua ekor sapi. Tujuan awal dari Karapan Sapi sebenarnya untuk mencari sapi yang kuat dan cocok dipergunakan dalam membajak sawah.
Karena gagasan ini, menimbulkan adanya tradisi Karapan Sapi dan menjadi agenda rutin setiap tahunnya, khususnya setelah menjelang musim panen habis. Karapan Sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi musik saronen. Saronen sendiri merupakan musik rakyat yang berkembang di Madura. Nama Saronen meminjam nama alat musik tiup sejenis Serunai di kebudayaan Melayu, yang di kebudayaan Batak disebut Serune dan di Lombok disebut Sarone.
Karapan Sapi tidak hanya sekadar balapan pacuan sapi saja, tetapi perlombaan ini dimulai dengan serius sejak persiapan. Para pemilik sapi, akan melatih sapi mereka yang akan ikut perlombaan sejak beberapa bulan sebelum perlombaan. Bahkan sapi tersebut akan diberikan perawatan khusus dan makanan yang berkualitas agar kondisi fisik sapi tetap prima.
Sedangkan dalam laman resmi Pemerintah Kabupaten Sumenep, menurut tokoh budayawan Sumenep, almarhum RP. Abd. Sukur Notoasmoro, karapan sapi justru berawal di masa Panembahan Sumolo alias Notokusumo putra Bindara Saut, yang notabene merupakan keturunan Pangeran Katandur.
Katanya, Panembahan Sumolo menciptakan karapan sapi untuk menggairahkan sektor tani di masa kemarau. Waktu itu, budaya karapan sapi juga berfungsi sebagai penghibur petani. Ini mengingat di masa kemarau merupakan masa paceklik yang menyulitkan para petani. Oleh karena itu, Panembahan Sumolo turun langsung dan menciptakan hiburan tersebut. Dalam laman resmi Pemkab Sumenep juga menjelaskan jika petani diminta untuk bajak ladang dengan sapi dan dikemas melalui lomba pacuan sapi. Dari hal tersebut, istilah karapan muncul, berasal dari kata garapan.
Kegiatan itu lantas semakin populer, istilah garapan juga kemudian berubah menjadi kerapan atau karapan sapi. Selain itu, para petani juga tertantang untuk membesarkan sapi sehingga sapi menjadi komoditas mahal di sumenep. Bahkan di Madura pada umumnya.
Aturan lomba karapan sapi juga terbilang unik. Lomba terdiri dari dua babak, babak pertama untuk menentukan 2 kelompok, yaitu kelompok menang dan kelompok kalah. Setelah itu masuk pada babak kedua, yaitu mengadu masing-masing kelompok tersebut. Sehingga ada 2 pemenang, berasal dari kelompok menang dan kelompok kalah. Filosofinya, menang atau kalah sama-sama dihargai.
Sebagai tradisi yang melekat di Madura, Karapan Sapi mencerminkan semangat kompetisi, kerja keras, dan kebersamaan. Selain itu, Karapan Sapi juga menjadi wadah sebagai cara untuk mempererat tali persaudaraan antar warga, karena perlombaan ini biasanya melibatkan seluruh desa, dari anak-anak hingga orang tua.
Dilansir dari laman Indonesia Kaya, bagi sebagian besar masyarakat Madura, karapan sapi tidak cuma sebatas pesta rakyat biasa atau sekadar warisan turun-temurun. Karapan sapi merupakan simbol kebanggaan yang mengangkat harkat dan martabat masyarakat Madura. Hal ini dikarenakan, sapi yang digunakan untuk pertandingan merupakan sapi-sapi berkualitas sangat baik yang mendapat perlakuan istimewa dari pemiliknya.
Pemilihan sapi untuk balapan sangat menentukan. Sapi yang cocok untuk karapan biasanya dibedakan sejak berumur 3-4 bulan. Lalu, sejak umur 10 bulan sapi mulai dilatih, diberi jamu, dipijat, dan dimandikan. Hal itu terus dilakukan sampai sapi siap turun gelanggang.
Selain itu, Karapan Sapi juga bernilai karena menjadi bagian dari promosi pariwisata dan identitas budaya Madura, bagian dari Jawa Timur. Oleh karena itu, karapan sapi sering diadakan dalam rangkaian acara budaya untuk menarik wisatawan domestik dan mancanegara.
Contohnya saja tahun kemarin menjadi penyelenggaraan lomba Karapan Sapi ke-21, yang memperebutkan piala bergilir Presiden RI dan merupakan rangkaian Hari Jadi ke-78 Provinsi Jawa Timur. Dalam acara tersebut, setiap joki mengendalikan sepasang sapi dan berada di belakangnya. Mereka berlomba dan berpacu beradu cepat melawan pasangan sapi lainnya dengan panjang lintasan pacuan sepanjang 225 meter.
Lomba karapan sapi ini, diikuti oleh pemenang Karapan Sapi hasil seleksi tingkat kabupaten se-Madura. Setiap kabupaten diwakili oleh 6 regu atau 6 pasang sapi. Dalam perlombaan ini, sapi juga dilihat kelayakannya. Ada beberapa syarat yang harus disertakan seperti Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH), rekomendasi dari pejabat otoritas veteriner, dan lain-lain.
Di tahun ini, final perlombaan karapan sapi Piala Presiden Tahun 2024 berlangsung pada awal bulan September. Acara yang berlangsung sengit dan meriah tersebut, diikuti oleh 24 pasang sapi dari 4 Kabupaten di Madura, beradu untuk menjadi yang tercepat.
Sekadar diketahui, dalam pelaksanaan tradisi Karapan Sapi dibagi menjadi empat babak. Babak pertama seluruh sapi akan diadu kecepatannya dalam dua pasang yang bertujuan untuk memisahkan kelompok menang dan kalah. Kemudian di babak kedua merupakan babak pemilihan kembali, pasangan sapi yang masuk dalam kelompok menang akan dipertandingkan kembali.
Selanjutnya, babak ketiga dan keempat adalah babak semi final dan final. Pada babak ketiga, pasangan sapi dipertandingkan untuk menentukan tiga pasang sapi dari masing-masing kelompok. Sementara itu di babak keempat, pasangan sapi yang menang di babak ketiga akan diadu kembali untuk menentukan juara I, II, dan III.
Dalam perayaan karapan sapi di Madura, terdapat dua macam perayaan, yaitu Bupati Cup dan Presiden Cup. Bupati cup biasanya diadakan dua kali dalam setahun. Para pemenang dari bupati cup ini biasanya akan melanjutkan pertandingannya ke Presiden cup.
Acara Presiden Cup ini sangat meriah dan ramai. Dalam event karapan sapi para penonton tidak hanya disuguhi adu cepat sapi dan ketangkasan para jokinya, tetapi sebelum memulai para pemilik biasanya melakukan ritual arak-arakan sapi yang diiringi dengan alat musik seronen perpaduan alat musik khas Madura sehingga membuat acara ini menjadi semakin meriah.