Makin kenal Jawa Timur bersama Kami.

  • img
  • img
  • img

MELESTARIKAN REOG PONOROGO BERSAMA KELOMPOK MARJINAL

Sumber Gambar: (Freepik.com)


Menjadi budaya Jawa Timur, Reog Ponorogo merupakan kesenian yang tidak bisa dilupakan begitu saja meski kini sudah memasuki era digital. Masih segar dalam ingatan, baru saja Reog Ponorogo masuk ke dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda dari UNESCO (organisasi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan). Keputusan tersebut keluar pada 3 Desember 2024 pada sesi sidang ke-19 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Paraguay.

Keputusan ini menjadi sesuatu yang penting bagi Indonesia, karena UNESCO menyatakan jika Warisan Budaya Takbenda milik Indonesia ini masuk ke dalam kategori memerlukan perlindungan mendesak. Dengan keputusan tersebut, budaya ini menjadi tanda bahwa ini merupakan kepemilikan Indonesia secara legal. Sehingga diharapkan tidak ada lagi klaim dari negara lain terhadap budaya dari Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia.

Meski sudah diakui dunia, perjuangan terhadap budaya ini tidak berhenti sampai di sini. Bagi Indonesia, khususnya warga Jawa Timur, melestarikan budaya ini agar terus ada dan ‘bernapas’ di tengah masyarakat menjadi tantangan sendiri. Terlebih ketika saat ini memasuki era disrupsi digital, dimana banyak anak muda lebih menyukai gadget elektronik ketimbang berkesenian tradisional seperti Reog Ponorogo.

Tantangan ini dijawab dengan baik oleh Subekti, pemilik Paguyuban Reog Ponorogo “Suro Bekti Budoyo” yang berlokasi di Surabaya dan Sidoarjo ini. Tidak hanya sekadar menghidupkan Reog Ponorogo agar tetap ‘exist’ di tengah kota metropolitan, tapi Subekti juga mengajak para kelompok masyarakat marjinal untuk turut serta melestarikan budaya asli Jawa Timur ini. 

Mereka yang tergabung dalam paguyuban Subekti, merupakan mantan pelaku kejahatan jalanan dan masyarakat rentan lainnya. Diantaranya, mulai dari jambret, pengamen, anak jalanan hingga dari keluarga tidak beruntung lainnya. Hasilnya, mereka saat ini sudah berhenti dan meninggalkan dunia kelam tersebut untuk berkecimpung di dunia seni Reog Ponorogo. Meski hanya sebagai hobi dan menjadi uang tambahan bagi mereka, namun rasa senang serta bangga tidak bisa tergantikan.

“Saya ingin memberdayakan mereka dan menjadikan kegiatan ini jadi tambahan penghasilan bagi anggota reog. Sehingga harapannya, mereka tidak turun ke jalan lagi,” kata Subekti yang memulai paguyuban ini sejak tahun 2021. Menurutnya, dengan bergabung di dalam paguyuban reog miliknya, para anggota memiliki perubahan yang cukup signifikan. Mereka sudah meninggalkan dunia jalanan secara penuh, bahkan ada yang bekerja sebagai sopir, keamanan dan pekerjaan lainnya, selain berkesenian.

Saat ini, sekitar 50 orang sudah bergabung ke dalam Paguyuban Reog Ponorogo Suro Bekti Budoyo. Mereka berasal dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Timur, mulai dari Lumajang, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Sidoarjo dan Surabaya. Paling banyak, anggotanya berasal dari Surabaya. Payuguban ini sendiri memiliki sekretariat di Surabaya dan sanggar di Sukodono, Sidoarjo.

Meski memiliki darah seni reog ponorogo dari orang tuanya, awalnya Subekti tidak langsung meneruskan kesenian ini. Ini dikarenakan Subekti meninggalkan kampung halaman, bekerja dan menetap di Surabaya. Namun, Subekti kembali tergugah ketika tiga tahun lalu melihat adanya anak jalanan memakai kaos reog. Lalu, setelah didekati, diketahui jika anak tersebut menyukai dan menaruh minat terhadap reog ponorogo. Sejak saat itu, Subekti mengajak kelompok masyarakat terpinggirkan ini dan mendirikan paguyubannya.

Bermodalkan seperangkat alat reog peninggalan dari orang tuanya, perlahan paguyuban Subekti mulai besar hingga seperti sekarang. Malah, saat ini, paguyuban miliknya berkolaborasi dengan kampus seni STKW Surabaya dan SMKN 12 yang merupakan sekolah vokasi di bidang seni. Menurutnya, berkesenian reog di Surabaya tidak menemui kendala berarti dikarenakan peminatnya cukup banyak. Hanya saja, menemukan tempat latihan cukup susah dikarenakan musik reog cukup berisik. Sehingga kurang pas dengan Surabaya yang lebih banyak kampung padat penduduk.

Subekti juga berharap jika pemerintah juga turut serta mendukung pelestarian reog ponorogo agar terus berkembang dengan cara bantuan akses mendapatkan bulu merak sintetis. Dengan begitu, tidak perlu lagi import bulu merak sintetis dari luar negeri, sehingga harga bulu merak sintetis bisa lebih murah.

Meski reog dikenal sebagai kesenian berbau mistis, Subekti percaya jika reog ponorogo merupakan murni kesenian dan tidak berhubungan dengan hal tersebut. Hal ini juga senada dengan Dwi anggota Paguyuban Reog Ponorogo Suro Bekti Budoyo milik Subekti. Dwi mengatakan jika reog merupakan murni kesenian dan tidak berbau mistis sama sekali. Bahkan menurutnya ada teknik dan skill yang bisa dipelajari untuk bermain reog ponorogo.

Dwi sendiri merupakan pemain dadak merak, salah satu ikon reog itu sendiri. Dadak merak merupakan topeng kepala singa dengan dikelilingi bulu merak. Satu dadak merak beratnya bisa mencapai 70-80 kg. Agar dadak merak ini bisa bergerak lincah, sang pemain perlu menggigit dadak merak tersebut dan digoyang-goyangkan dengan dua tangannya. Bayangkan saja, dadak merak seberat itu dibawakan saat pentas dengan cara digigit dan menari dengan lincahnya.

Butuh latihan khusus dan teknik yang harus diasah agar pemain dadak merak bisa menampilkan tarian yang apik di depan penonton. Menurut Dwi, awalnya dia mulai melatih menggigit barbel 15 kg, hingga akhirnya beban barbel ditambah lebih berat agar terbiasa mengangkat dadak merak. Dwi juga bercerita, sehari sebelum pentas, biasanya dirinya meminum jamu kuat terlebih dahulu agar saat pentas bisa tampil maksimal. 

Dwi bukanlah pemain baru di paguyuban milik Subekti. Dwi sudah 15 tahun berkecimpung di dunia kesenian reog ponorogo, dimulai sebagai penari bujang ganong dan terus berkembang menjadi penari dadak merak. Dadak merak yang dipakai Dwi tidak langsung berukuran besar. Dirinya harus memulai dengan ukuran kecil dan butuh waktu dua tahun untuk mampu menggunakan dadak merak berukuran besar. Menurutnya, beban berat sebesar itu tidak terasa karena dibawa senang dan sudah terbiasa. Sehingga, saat pentas, dirinya tidak mengalami kendala.

“Dengan berkesenian reog, saya bisa tahu berbagai tempat. Saya juga sempat diundang tampil oleh kedubes Indonesia di Taiwan dan Hongkong untuk tampil di sana,” kata Dwi. Menurutnya, kesenian reog ini bisa mendunia dikarenakan kesenian tersebut netral dan bisa melingkupi semua orang. Oleh sebab itu, banyak yang mengundang untuk pentas.

Sama seperti Subekti, Dwi juga memiliki darah seni dari keluarganya. Dia pun turut menularkan ilmu seni reog ini kepada anaknya. Harapannya, kesenian ini bisa terus terjaga dan lebih dikenal dunia lagi. Terlebih saat ini reog ponorogo sudah mendapatkan pengakuan dunia lewat UNESCO.

img

Seorang social media specialist yang suka menulis dan memotret di setiap cerita kehidupan. Mahasiswa Program Magister, Universitas Airlangga

Tito Adam
OG Author
Our Social Media

Get in Touch with Us